Sabtu, 19 Februari 2011

Curveball, Mata-mata Pengkhianat Irak


Nama kodenya Curveball. Ia adalah tokoh di balik perang Irak, setelah berhasil meyakinkan AS adanya senjata pemusnah massal di negara tersebut. Namun, itu adalah bohong besar!

Kini semua terungkap. Nama asli Curveball adalah Rafid Ahmed Alwan Al Janabi. Kode tersebut diberikan oleh intelijen Jerman dan AS yang bekerja sama dengannya. Untuk pertama kalinya, Al Janabi mengungkapkan secara eksklusif kepada Guardian, bahwa klaimnya mengenai senjata pemusnah massal di Irak hanya kebohongan belaka.

Janabi mengaku, ia mengarang kisah mengenai truk-truk berisi senjata kimia yang terus bergerak. Kemudian pabrik-pabrik tersembunyi, yang memproduksi benda-benda terlarang pendukung senjata pemusnah massal tersebut. Semua itu ia lakukan untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein.

“Mungkin saya benar, mungkin juga salah. Namun, ada kesempatan melakukan sesuatu yang bisa menumbangkan rezim ini. Saya dan putra saya bangga, karena kami memberikan rakyat Irak kesempatan menuju demokrasi,” paparnya.

Pengakuan ini datang delapan tahun setelah mantan Menlu AS Colin Powell berbicara di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa ia mempercayai segala perkataan Curveball. Pertengahan 2010 lalu, mantan Menhan AS Donald Rumsfeld juga telah menyatakan tak ada senjata pemusnah massal di Irak.

Jika saja Janabi langsung mengaku pada saat itu, maka karir Powell dan Rumsfeld akan langsung hancur total. Powell pun akan terdiskredit saat maju ke PBB pada 5 Februari 2003 untuk mengumumkan keputusan AS itu. Pada April tahun yang sama, AS mengerahkan kekuatan militernya dan menyerang negri Seribu Satu Malam tersebut.

Sementara mantan Kepala Badan Intelijen AS (CIA) di Eropa, Tyler Drumheller, mengaku terpesona dengan Janabi. “Pengakuannya mengagumkan. Saya luar biasa lega. Sebab, masih banyak orang yang memikirkan peristiwa itu (invasi AS ke Irak), hingga saat ini sekalipun,” paparnya.

Meski begitu, Janabi menyangkal ia membantu AS secara langsung untuk menumbangkan rezim Saddam. Sebab, semua informasi itu ia sampaikan kepada Badan Intelijen Jerman (BND). Janabi menyatakan, ia menuturkan bagaimana Irak sebenarnya kepada seorang pejabat Jerman yang hanya diketahui bernama Dr Paul.

Menurut Janabi, Jerman mengenal dirinya sebagai seorang insinyur kimia terlatih. Ia juga didekati pihak Jerman pada 13 Maret 2002, guna mencari informasi mengenai situasi terkini di Irak. “Saya memang bermasalah dengan rezim Saddam. Saya ingin dia turun dan saya punya kesempatan,” kata Janabi.

Kebohongan Janabi perlahan terkuak pada pertengahan 2000, ketika agen BND bertolak menuju ke salah satu negara Teluk, yang diyakini sebagai Dubai, Uni Emirat Arab. BND berusaha menemui mantan pemimpin Komisi Industri Militer Irak, Dr Bassil Latif. Ternyata, intelijen Inggris juga datang pada pertemuan itu.

Mereka berusaha mengkonfirmasi pernyataan Janabi, bahwa seorang putra Latif yang menjadi mahasiswa di Inggris pernah mengembangkan senjata untuk Saddam. Klaim itu salah dan Latif menyangkal seluruh perkataan Janabi. Intel Jerman kemudian kembali ke Janabi dan menyampaikan perkataan Latif.

“Oke, jika (Latif berkata) tak ada truk maka memang tak ada (truk),” jawab Janabi ketika itu. BND kemudian tak pernah menghubunginya lagi hingga Mei 2002. Barulah Janabi sadar, bahwa intel Barat ternyata menanggapinya dengan serius. Terbentuklah wacana berperang, sebuah pertanda tercapainya tujuan awal Janabi.

Kini, AS beranjak meninggalkan Irak ketika negara ini belum benar-benar kuat maupun sanggup membela diri sepenuhnya dari serangan militan pemberontak. Belum lagi duka yang menyelimuti setelah lebih dari 100 ribu warga tewas dalam invasi selama delapan tahun terakhir.

Apa kata Janabi? “Saya merasa nyaman dengan apa yang telah saya lakukan. Perang memang menyedihkan. Tapi coba carikan solusi lain, ada yang bisa memberikan jalan keluar lain? Percayalah, ini satu-satunya cara agar Irak merdeka. Tak ada jalan lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar